Senin, 16 Mei 2011

MENYUSURI JEJAK – JEJAK KENANGAN DI PANTAI PASIR KUNING

by Rengga Trianto on Saturday, May 14, 2011 at 7:37pm
MENYUSURI JEJAK – JEJAK KENANGAN DI PANTAI PASIR KUNING

Lembut semilir angin Pantai Pasir Kuning ini, mengingatkanku kepada gadis cikarku. Wulan ……, apa kabar kau kini? Sudah 4 tahun lamanya kita tidak bersua. Entah bagaimana keadaanmu kini. Apakah kau baik – baik saja? Bodohnya aku meninggalkanmu waktu itu, karena amoy yang baru aku kenal di kota Muntok. Aku tahu hatimu waktu itu terluka, sangat terluka karena ulahku. Kenapa dulu aku tega menyakiti hatimu yang lembut bagaikan salju itu. Begitu mudahnya aku mengucapkan kata “perpisahan” dan menjalin kasih dengan Lina yang hanya baru 2 hari ku kenal.
Aku ingat, matamu berurai air mata. Kau memohon agar aku tidak meninggalkanmu. Tapi aku yang terlanjur dibutakan oleh cinta sesaat, pergi meninggalkanmu begitu saja. Wulan gadis cikarku, setelah empat tahun berlalu, kini aku menjejakkan kakiku kembali di Desa Tempilang yang damai dan tenang ini. Kau tahu? Aku langsung ke pantai Pasir Kuning, tempat favorit kita waktu nge-date dulu. Kamu pernah mengatakan, bahwa pantai adalah tempat rekreasi favoritmu. Kata mu, bila berjalan – jalan di pantai, hati menjadi tenang, pikiran pun menjadi damai. Menghirup hembusan semilir anginnya, serasa membangkitkan gairah dan semangat hidup. Kau mengatakannya sambil berjalan menyusuri pantai. Tangan kita saling berpegangan erat. Sesekali kau menyenderkan kepalamu di dadaku. Aku mengusap pelan rambut panjang indahmu. Ahhh ….., begitu romantis saat itu. Bila sudah begitu, mulutmu yang cerewet tak henti – hentinya bercerita tentang desa Tempilang tempat kelahiranmu. Sumpah, aku sendiri sudah bosan mendengarnya. Tapi kau selalu memaksa aku untuk mendengarkannya sambil mencubit gemas perutku.
Wulan, sekarang pandanganku lurus menghadap pantai. Dari ujung sana terlihat indahnya biru air laut. Aku membayangkan, ada wajahmu di sana, tersenyum manis melihatku atau malah menertawakanku yang dengan bodohnya berjalan sendirian sambil mengenang kisah cinta kita yang telah lalu. Aku tahu, bila ada kau disini, pasti kau tertawa lebar – lebar di depan wajahku. Pasti kau akan memaki – maki aku dan menyebut diriku bodoh, tolol …… hah!!! Wulan, aku memang pantas kau beri perlakuan seperti itu. Aku memang bodoh telah mencintai Lina. Dia ternyata tidak mencintaiku. Dia hanya cinta pada uangku saja. Aku benar – benar tidak bisa melupakan kejadian di hari Sabtu yang menyakitkan itu. Tanpa sengaja, aku mendengar perbincangan dia dengan Ibunya. Ibunya menyuruhnya untuk memerasku. Aku dengar sayup – sayup dari perbincangan mereka, ternyata Ibunya memiliki hutang sebesar tiga puluh juta kepada seorang rentenir. Lina dengan wajah tanpa dosa, bersedia menuruti kehendak Ibunya tersebut. Bahkan dia sendiri yang mengatur rencana tersebut dengan rapi, membuatku tidak sadar bahwa aku sedang diperas.
Lina …. Lina ….., seandainya kau tahu. Aku ini tidak kaya. Yang kaya adalah orang tuaku. Aku hanya diberi fasilitas saja. Begitu mudah kau silau dengan mobil yang aku pakai, silau dengan kartu ATM dan kartu kredit yang aku punya. Dihari Sabtu yang menyakitkan itu, aku mengajak dia ke pantai Tanjung Kalian, tepat di bawah Mercusuar Tua peninggalan zaman Belanda tempat kami pertama kali bertemu, aku memutuskan tali percintaanku dengan dengannya. Menyakitkan memang. Tapi untuk apa aku menjalani jalinan cinta yang hanya didasari oleh uang, bukan cinta.
Tidak seperti kau Wulan. Kau mencintaiku karena kau cinta, bukan karena aku anak orang kaya. Kau pernah bilang, uang bukan segala – galanya. Uang tidak dibawa mati. Uang hanya titipan. Tapi cinta? Cinta sejati tidak akan pernah mati, mesti sang kekasih meninggalkannya. Wulan, begitu tulus kau mencintaiku. Aku berharap cinta sejati itu masih ada dihatimu untukku.
Wulan ……, kakiku menginjak sesuatu. Ternyata kerang. Kau ingat, aku pernah memberimu kulit kerang kecil berwarna putih mulus ini kepadamu. Kataku ….. putihnya kulit kerang ini seputih cintaku kepadamu. Kau tertawa kecil dan mengatakan kalau aku ini “gombal”, terus kau mengatakan, “Sudah berapa wanita yang kau beri kerang sambil mengucapkan kata – kata seperti itu?”, aku tersipu malu. Lalu aku kejar dirimu yang berlari – lari kecil menyusuri pantai. Aku berhasil menangkapku. Lalu aku peluk dirimu erat. Dalam pelukan itu, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu, apalagi menyakiti hatimu. Tapi Wulan, kau lihat sendiri. Aku langgar janjiku itu. Aku mengkhianatimu. Aku menduakanmu. Oh ……. Tuhan, kenapa aku laki – laki diciptakan begitu mudahnya tergoda kepada rayuan seorang wanita. Seandainya aku tidak mengkhianatimu, mungkin saat ini kita telah menjadi sepasang suami istri.
Kita berpacaran cukup lama ya Wulan, dua tahun. Pertama kali bertemu waktu acara pesta adat tahunan terbesar di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Perang Ketupat. Aku waktu itu yang hanya menjadi penonton, begitu kagum melihatmu, wanita satu – satunya di arena Perang Ketupat yang di dalamnya terdapat laki – laki semua. Kau begitu bersemangat melempar gumpalan – gumpalan ketupat ke arah lawan. Kau tidak peduli dengan keadaanmu yang berantakan terkena lemparan ketupat. Bahkan wajahmu yang putih berubah menjadi merah terkena sinar matahari. Kau terlihat begitu maskulin waktu itu. Mungkin karena waktu itu rambutmu masih pendek sebatas leher dan kau ikat kuda ke belakang. Aku terus menyorakimu …. Ayo …. Ayo…, namun tiba – tiba kau menarik lenganku dan mengajakku ikut bergabung. Kontan aku terkejut. Tapi karena sudah terlanjur, akhirnya aku jadi ikut berperang di arena.
Lucu bila mengenang kejadian itu. Sehabis perang, aku langsung menghampirimu dan berkenalan. Kau begitu ramah ketika menjabat tanganku sambil menyebutkan namamu, begitupun sebaliknya aku. Pertemuan kita terus berlanjut, hingga akhirnya kita memutuskan untuk pacaran. Jujur Wulan, waktu berpacaran denganmu, aku capek sekali. Capek karena aku mesti ngapelin kamu dari Pangkalpinang ke Tempilang. Ngapelnya pun bukan malam Minggu, tapi hari Minggu. Tapi aku rela wulan. Habis, kalau tidak bertemu, rasanya rindu sekali. Kerjapun jadi tidak konsen, meski sudah ada handphone, tetap saja ritual ketemuan harus dilakoni.
Pernah waktu itu aku sedang menuju ke rumah mu. Ban mobilku kempes terkena paku. Ha … ha … ha …, habis jalanan menuju ke rumahmu belum di aspal, masih tanah merah dan paku tersebut entah dari mana datangnya. Untung aku membawa ban serep, sehingga dengan cepat langsung ku ganti dan segera ke rumahmu.
Kau ingat Wulan, aku begitu takut waktu pertama kali berkenalan dengan orangtuamu. Terutama dengan Ayahmu. Aku membayangkan pasti aku akan dilarang berpacaran denganmu. Karena kau adalah anak perempuan kesayangan satu – satunya dalam keluarga. Namun, kejadian yang ku takutkan tidak terjadi. Malahan orangtuamu welcome sekali terhadapku. Ayahmu pernah berkata, “Jang, tulong jage anek gadis ko ne satu – satu e ni, jangen sampai ka gi nyaket ati e. betunanglah yang serius, yang bener, jangen dibuet maen – maen.” Begitu kata Ayahmu dengan logat bahasa Bangka yang kental.
Pak Sahanan, aku mohon maaf tidak bisa memenuhi permintaan Bapak. Aku memang laki – laki bodoh, pecundang!!! Aku tidak pantas dititipkan seorang wanita yang begitu baik hatinya untuk kujadikan seorang kekasih.
Wulan, aku tidak tahu bagaimana reaksi Ayahmu waktu aku meninggalkanmu. Mungkin aku tidak sanggup menatap wajahnya bila seandainya aku harus bertemu dengannya. Begitu malunya aku, sampai kata maaf ku pun mungkin tidak akan sempat meluncur dari mulutku. Begitu berdosanya aku Wulan. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa lalu, masa sewaktu kita masih bersama. Aku ingin memperbaiki kesalahanku padamu. Begitu banyak hati yang telah ku buat terluka oleh perbuatanku.
Wulan ….. hari ini hari Raya Idul Fitri. Momen yang tepat untukku meminta maaf kepadamu dan kedua orangtuamu. Sewaktu aku ke sini tadi, aku melihat iring – iringan serombongan laki – laki berpakaian muslim, ada yang memakai sarung. Ada juga yang memakai celana panjang, berjalan beriringan membawa dulang berwarna merah bergaris kuning hitam menuju Masjid Jami’ yang terletak di pinggir jalan Desa Tempilang. Itu acara nganggung kan Wulan? Aku berhenti sejenak. Mataku berkeliling mencari – cari sosok Ayahmu. Tapi tidak ketemu. Akupun sempat berniat melajukan mobilku menuju ke arah rumahmu, tapi ku urungkan niatku, karena aku masih belum mempunyai nyali untuk menemuimu. Akhirnya, aku menuju ke pantai ini, Pantai Pasir Kuning. Ku buka buku agendaku. Ku ambil fotomu. Ku pandangi sambil berjalan menyusuri pantai, mengenang kenangan indah kita.
Di pantai ini, aku masih mengumpulkan segenap keberanianku untuk menemuimu dan orangtuamu. Wulan…… aku tidak mengharapkan apa – apa. Aku hanya ingin meminta maaf. Untuk mengharapkan cintamu, rasanya sudah tidak mungkin. Sekarang aku siap menemuimu, apapun yang terjadi, aku siap menerimanya.

***
Angga bergegas pergi meninggalkan Pantai Pasir Kuning. Ketika dia akan melangkahkan kaki menuju mobilnya, alangkah terkejutnya dia saat melihat sosok wanita seperti Wulan berdiri seorang diri sambil menatap ke arah pantai, Angga bertanya dalam hati, “Wulan…. Apakah itu kamu … ??” ketika Angga akan mendekatinya, mendadak sosok Wanita itu memalingkan wajahnya dan tersenyum manis ke arahnya. Jantung Angga berdesir. Semilir angin begitu lembut menerpa, sehingga membuat rambut wanita itu tergerai pelan. Angga berkata lirih, “Ternyata Wulan ……, Wulan!!!! Panggilnya. Namun seketika sosok wanita itu menghilang tanpa jejak di hadapannya. Tubuhnya seakan ikut melayang pergi mengikuti arus semilir angin Pantai Pasir Kuning yang sejuk.
Angga terdiam terpaku seribu Tanya.
PRIA BERKAOS MERAH
by Rengga Trianto on Saturday, May 14, 2011 at 7:32pm
PRIA BERKAOS MERAH

“Kaos merah …… kaos merah”
Kata – kata itu memenuhi seluruh ruang otakku. Mataku berkeliling ke segala penjuru toko buku, mencari - cari sosok pria berkaos merah tersebut. Satu dua orang yang masuk ku seleksi berdasarkan kaos yang mereka pakai. Hemm,, seperti orang yang kurang kerjaan saja aku. Sembari memegang majalah dan membolak – balik lembarannya, mataku melirik – lirik sekilas, mengawasi orang – orang yang berlalu lalang di dalam toko buku dengan tatapan yang mencurigakan. Srettt …… sekilas aku melihat pria memakai kaos berwarna merah. Deg!!! Jantungku berdegup kencang. Jangan – jangan pria ini lagi yang sedari kemarin selalu memaksa aku untuk ketemuan. Ku cek sms yang masuk ke dalam inbox message hapeku. Ku baca sms yang masuk Lima menit yang lalu itu.
“Aku pake kaos merah lengan pendek.”
Ku lirik lagi pria berkaos merah tersebut. Tapi dia memakai kaos merah berlengan panjang. Lagipula pria tersebut tidak berlama – lama di dalam toko buku dan langsung keluar begitu saja tanpa membeli sesuatu. Huftt!! Ke,mana dia? Gerutuku dalam hati dengan rasa jengkel. Sudah hampir dua puluh menit lamanya aku menunggu di sini. Ku rogoh hape yang ada di dalam tasku. Ku sms kembali pria misterius tersebut.
“Dimana kamu sekarang?” tanyaku. Semenit kemudian dia membalas.
“Aku udah nyampe ni.” Balasnya.
Cepat – cepat ku dongakkan kepalaku melihat ke arah pintu masuk toko buku. Ku edarkan bola mataku ke sekeliling ruangan. Aku bergumam sendiri, kemanakah pria berkaos merah tersebut?
Aku berjalan perlahan ke arah deretan rak buku – buku bertemakan Psikologi. Ku edarkan kembali mataku menjelajah setiap deretan rak buku yang di depannya berdiri satu sampai tiga orang pengunjung yang hanya sekedar melihat – lihat ataupun hanya sekedar membaca kilasan resensi isi buku – buku yang tersusun rapi di rak – rak tersebut.. masih belum kutemukan juga sosok pria berkaos merah yang misterius tersebut. Hatiku mulai kesal. Ku ambil kembali hapeku. Aku sms dia sekali lagi.
“Kamu di mananya?”
Tak sampai satu menit, dia membalas.
“Aku udah di dalem ni.”
Brengsek!!! Pikirku dalam hati. Aku tahu dia pasti bersembunyi. Entah di balik rak – rak buku atau di kerumunan orang – orang yang pada berjejal berebutan untuk melihat novel – novel cuci gudang berharga diskon yang tersusun rapi di rak paling ujung dari toko buku ini.
Ku percepat langkahku menuju ke kerumunan orang – orang tersebut. Berharap sosok pria berkaos merah lengan pendek berada disitu. Kembali aku celingukan kesana kemari persis orang bingung mencari sosok pria misterius tersebut. Tetap tidak kutemukan.
Hatiku mulai panas. Aku kembali menuju deretan rak majalah. Ku ambil hapeku. Kali ini aku tidak berniat untuk mengirim pesan kepadanya, melainkan aku akan menelponnya. Ku dial nomornya dan terdengarlah nada sambung pribadi lagu Armada “Ku hanya ingin setia”. Sebuah lagu cinta menyentuh hati yang sebenarnya tidak ingin lagi aku dengar, karena telah mengingatkanku kepada mantan pacarku, Abdi. Aku benci bila harus mengingat bagaimana dia memutuskanku dan rela memilih wanita pilihan orang tuanya. Lirik lagu Armada tersebut sangat pas dengan tragedy cintaku tersebut. Ohhh ….. seandainya lagu tersebut tidak pernah rilis ke pasaran.
Sekali refrain lagu Armada telah berlalu. Telponku tak kunjung diangkat. Kedua kalinya refrain lagu Armada terdengar, telponku di reject olehnya. SIAL!!!! Umpatku dalam hati. Tak banyak berpikir lagi, satu kata langsung terlintas di dalam otakku, AKU DIKERJAI!!!!. Dengan cepat aku menarik kesimpulan. Dia tidak memakai kaos merah, tapi dia memakai kaos berwarna lain.
Benar – benar brengsek!!! Bagaimana mungkin aku bisa menemukan orang di dalam toko buku ini yang memakai kaos merah sementara dia sendiri sebenarnya tidak memakai kaos berwarna merah.
Aku yakin dia memakai kaos berwarna lain dan semua lelaki di dalam toko buku ini bisa dijadikan tersangka!!. Jrengg …. Jrenggg … saatnya aku mengambil taktik yang lain. Ku telpon kembali nomornya secara diam – diam. Sambil menelpon, aku mengendap – ngendap di antara deretan rak – rak buku sambil melihat ke semua lelaki yang ada di dalam toko buku berharap salah satu dari mereka ada yang mengangkat telpon. Barang siapa yang mengangkat telpon. Grab!!!! Dia lah tersangka utamanya!!!
Lagu Armada masih mengalun, namun tak satu pun lelaki yang mengangkat telpon. Sial!! Sial!! Sial!!!, dia ternyata lebih pintar. Mungkin saja dia tidak berada di dalam toko buku ini melainkan berada di luar. Ku lihat ke arah dinding kaca yang memisahkan toko buku dengan para penjual pakaian di mall ini. Orang – orang berlalu lalang, namun tidak ada yang bersikap mencurigakan. Aku semakin bingung. Pikiranku mulai aneh – aneh saja. Jangan – jangan dia pemilik toko buku ini dan dengan mudahnya dia mengintaiku dari seperangkat kamera CCTV. Huh…. Seperti mata – mata saja.
Dalam kebingunganku tersebut tiba – tiba hapeku berbunyi. Ada sms masuk. Ku buka sms tersebut.
“Kamu yang berdiri di deretan rak majalah itu kan?”
Deg!! Aku terkejut. Dia tahu aku berdiri di deretan rak ini. Aku semakin yakin dia sebenarnya ada di dalam toko buku ini. Sedari lama dia telah melihatku dan aku yakin dia sedang berdiri di belakangku sekarang. Aku belum menoleh. Pelan – pelan ku balas smsnya.
“Iya bener. Kamu di mana sih?” tanyaku gemas. Lalu dia membalas.
“Sorry ya, telah membuang – buang waktu kamu, salam kenal aja. Bye.”
“Lho?? Kenapa ???” balasku heran. Ku berondong lagi dia dengan serentetan sms berikutnya.
“Cepat temui aku disini.” Desakku. Namun dia tak kunjung membalas. Cepat – cepat ku balikkan badanku melihat siapa yang ada di belakangku. Srettt!!! Sesosok pria tinggi, berkulit putih sekelebat keluar dari toko buku. Dia tidak memakai kaos merah. Dia memakai kaos berwarna biru laut. Spontan aku berlari ke arahnya. Tapi aku tidak berani memanggilnya. Sosok itu sangat ku kenal. Ya…. Aku mengenalnya. Dia tidak asing bagiku. Perawakannya yang familiar di mataku walaupun terlihat dari belakang mengingatku pada seseorang di masa laluku. Dia Abdi, mantan pacarku.
Abdi, thanks untuk hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar