Senin, 11 April 2011

CERITA NYATA

AKU pengeret karetpun ingin JUARA
Temaram cahaya matahari di ufuk timur memendar menggantikan gelap malam. Udara pagi dingin menusuk tulang, tidak menyurutkan semangat menyibak selimut pembungkus tubuhku, seraya bangkit berdiri kakiku melangkah menuju pintu kamar, berbelok ke kiri menuju pintu dapur, sebatang kayu terpaku yang mudah ku putar pintu pun terbuka. Wuss! Angin pagi menerpa wajah, ingin rasanya kembali menutup pintu, tapi?. Kulanjutkan langkahku, sumur tak seberapa jauh terisi air hanya ketika musim hujan, tanpa berdinding sekeliling menungguku, dan mengingatkanku untuk berhati-hati karena tanah yang becek. Sedikit kakiku berjinjit menekan sandal usang. “Aku sudah biasa kok jangan kuatir!”.kataku dalam hati.
Kutimba air dengan seutas tali, ujung ember kecil yang biasa ku pakai untuk mandi. Demikian pula pagi itu, byur! Hrrrr gigiku gemeretek menggigil dingin. Kutimba lagi, ku guyur lagi. Entah berapa ember aku timba dan kupakai untuk mandi. Sikat mekar yang telah lama kubeli membantuku membersihkan gigi, odol yang sudah susah untuk keluar aku urut sedikit demi sedikit, jadilah aku sikat gigi dengan odol seadanya, lalu aku berwudlu. Aku masuk ganti baju kering, sarung, sajadah, dengan kopiah kemerahan pemberian kakek saat aku sunat kira-kira tiga tahun lalu menemani sholat subuh pagi itu. Aku berdoa untuk bapak ibuku semoga selalu tenang disana, juga kakek semoga selalu sehat.
Usai sholat, seperti hari biasanya aku pergi kekebun karet kakek, yang berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah menuju arah matahari pagi. Pondok kebun kakek masih tertutup sebab biasanya aku yang membukannya, apabila kakek harus sudah kepasar saat aku belum bangun. Pagi itu, kakek pergi Kepasar Pagi menjual pisang raja yang dipetik, kemarin sore dikebun perbukitan yang agak jauh arah matahari tenggelam. Di kebun kakek kurang lebih 80 batang karet menungguku, mereka yang selalu merelakan tubuhnya aku gores dan getah yang keluar cukup membantu aku dan kakekku untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Getah karet tertampung dalam batok kelapa yang selalu menempel menghiasi pinggul manis batang karet kesayangan kakek. Batang karet itu umurnya hampir sama dengan umurku sebelas tahun. Ditemani nyamuk yang berdenging yang kadang menggigit, “uh, sakit luar biasa, tolong kawan kecilku jangan ganggu aku, laparya?”, aku bicara dalam hati. Kawan kecil inilah yang menyibukkan aku, membantu melupakan batang karet yang harus ku kerat, aku baru sadar ternyata tinggal beberapa batang yang menunggu sentuhan mungil tanganku.
Matahari pagi yang bersinar terang menandakan pagi mulai beranjak siang. Pak Madun diseberang kebun kakek sudah terlihat, dia menyalakan pengapian, asap putih menyeruak tercampur embun dan angin pagi yang berhembus pelan. Aku mulai berhitung satu, dua, tiga, dan pada hitungan ke tujuh entah kenapa selalu saja kebetulan pak Madun berkata, “O Wan, sinelah ngopi luk”. (wan kesini minum kopi dulu). “Aok mang, suat ok!” (ya pak sebentar) aku menjawab. Asap aroma kopi menyebar khas kopi Kingkong kesukaan pak Madun. “kemane, Athok ki Wan? (kemana, Kakek mu Wan) tanya mang Madun kepadaku. “gi ke pasar Mang pagi di, ku lum bangun Athok gi e” jawabku. Mang madun bertanya lagi “Nyual ape kepasar pagi bute lah gi, emang Athok ki dari mudek dulu rajin luer biase, ku ge salut”. “Nyual pisang raje yang diputik temari dikebun ujong ya Mang” jawab ku. Pak Madun manggut-manggut sambil nyruput kopi hangat. “gi lah mandi dulu Wan, lah siang ne, ki sekolah dek hari ni, Katee lah ujian? tanya pak Madun sambung menyambung. “sekolah Mang, jam 07.30 ku masuk e, kelak ujian matematika ketak kok Mang, makasih mang ok kopi e” kataku. Kuhabiskan kopi, aku berjalan ke sumur pak Madun, air jernih ikan berjalan kesana kemari menarik semangatku untuk mandi, tanpa melepas celana pendekku aku menyelam merasakan segarnya air lelap pak Madun. Begitulah kebiasaan ku pagi-pagi. Selesai mandi aku berjalan pulang.
Pagi itu kukenakan pakaian putih merah seragam sekolah. Aku makan nasi dari bakul, biar dingin namun masih enak, lauk ikan ciu goreng lahap aku makan, sehabis minum putih aku pergi sekolah. Sepeda hijau peninggalan ayah sudah tua, tapi masih enak di dipakai. Sepeda itulah setiap hari mengantarku sekolah yang jaraknya sekitar satu setengah kilo dari rumah. Mengikuti jalan setapak kanan kiri kebun dengan berbagai macam tanaman lebih aku sukai dari pada melewati jalan aspal yang membelah kampung ku. Sebenarnya jika melewati jalan aspal perjalanan lebih dekat dan enak tapi aku memilih jalan tembus, selain kebiasaan juga karena aku tidak terburu-buru untuk masuk kelas sebab hari itu ujian matematika. Hari terakhir ujian semester satu.
Sampai disekolah jam 07.15. kondisi sekolahku terawat bersih dan rapi, dinding sekolah yang berwarna hijau menambah kesegaran suasana, banyak tanaman yang selalu disiram pak Sarji tukang kebun sekolah sekalipun sudah tua dia selalu bersemangat. Tanaman bunga yang bermacam menambah keasrian sekolahku. Keberadaan sekolah dipinggir jalan besar tidak membuat bising, sebab lapangan tempat bermain dan olah raga, depan sekolahku cukup luas, juga pagar beton yang tingginya 1,5 meter, kata bapak guru bisa meredam suara mobil yang lalu lalang. kawan kawanku sudah banyak yang datang mereka kelihatan sibuk membuka, membalik buku matematika, ada yang menulis, ada pula yang saling tanya jawab. Aku ikut nimbrung Udin, Sarman, Wanda dan Sapri yang memperhatikan aku semenjak aku mausk pagar sekolah. “wan, ki lah belajar lum? Tanya Sarman kepadaku. “Kalau wawan sih, tidak usah belajr lagi Man” kata Udin menyela sebelum aku menjawab pertanyaan Sarman. “Jangan cemtu sik Din, ku ge tetep belajer, sepulang sekolah” jawabku. “Aok, kalau malem rumah Wawan gelep, dekde lampue, rumah wawan kan lum ade listrik” Wanda. “aok, cemtu lah, ku kalau belajer sepulang sekolah langsung ngulang materie, PR kugawe, sebelum bantu athokku ngumpul karet, entah kapan ok kampungku ni ade listrik, nyamen umah ki ok lah ade listrik?” kataku. “Mungkin tahun 2011 atau 2012 bisa jadi tahun 2025” kata Udin serius. “Ki jangen mutus semangat orang Din” kata Wanda. “tidak ada listrik aja wawan pinter, coba kalau ada listrik mungkin dia sudah membuat Helikopter” Kata Sarman mengolokku.
Riuh pagi itu pecah, semua berambur melihat ibu guru membawa besi pemukul lonceng pengganti Bel di sekolah-sekolah di kota, sekolah belum teraliri listrik, kata pak guru karena keterbatasan daya listrik PLN. Tapi dengan lonceng saja semua murid patuh dan bersemangat dalam belajar itulah yang sering dikatakan pak guru di kelasku. Semua murid masuk ruang kelas masing masing, suara bel masuk baru terdengar dibunyikan. Semua sudah siap di dalam kelas. Bapak ibu guru keluar dari kantor guru. Mereka menenteng bungkusan amplop coklat, biasanya berisi soal dan lembar jawab. Assalamualaikum, khas gaya pak guruku sambil berdiri membelakangi pintu, biasanya beliau akan melanjutkan masuk jika kami sudah menjawab salam, jika kami belum menjawab beliau akan mengulanginya. Kami serentak menjawab, kemudian pak guru masuk dan memberikan pengantar.”Hari ini merupakan ujian tertulis terakhir kalian, tetapi bukan berarti belajarnya sudah selesai, ingat ya mungkin dari kalian ada yang harus remedial jika nilai kalian tidak mencapai KKM. Tapi kalian tidak perlu khawatir, ini baru semester I kalau nilai kalian rendah di semester ini tingkatkan belajarmu supaya kamu bisa lebih baik dan naik kelas ke kelas VI” Kata pak Guru.
Pak guru membagi soal dan lembar jawab kami sekelas hampir 40 siswa mengerjakan dengan tenang. Pak guru kadang berkeliling melihat pengerjaan kami. Aku tidak khawatir rasanya soal yang aku baca sudah tergambar saat aku belajar dan saat aku ujian jawaban sudah terbayangkan dipikiranku. 2 jam berjalan dengan cepat kami satu persatu mengumpulkan jawaban kami. Kami keluar kelas yang dari tasi sudah riuh adik kelasku yang menceritakan sulitnya soal yang mereka kerjakan. Bel panjang 3 kali berbunyi pertanda kami selesai belajar. Aku pulang dengan hati yang lega enteng rasanya salah satu beban tugas belajar terasa sudah selesai.
Sampai dirumah aku kaget begitu banyak orang yang berkumpul di rumah, aku berlari kuat supaya cepat sampai rumah Pak Madun ternyata ada disitu. Pak Madun menghadangku sambil berkata “ sabar wan, Athok Ki tadi pingsan di jalan, untunge pak Somad yang nemuin kakek dan mawe puleng ke rumah, lah sadarlah kine e”. Aku masih merasa was-was aku segera masuk kamar kakek, kakek terlihat sudah duduk dengan muka yang pucat. “Wan sini, duduk dekat kakek!, kakek memanggilku. “kakek sakit apa?,” tanyaku lirih. “Tidak apa-apa wan, tadi aku belum sarapan jadi aku lemas, sekarang sudah sehat “ kakek menghiburku. “Thok kita ke dokter aja!”, aku membujuk kakek. “Ya”, Kakek menjawab singkat. ”kek, jual aja ya karet agak kering uangnya dapat untuk berobat nanti!”, tanyaku. “tidak usah wan, athok ada uang Kok!”, jawab kakek. “Thok aku kekebun dulu, Athok makan dulu ya, Bik surti sudah nyiapin!”, kataku. Tiga hari kakek terbaring tidur diam dengan selimut tebal. Itulah kebiasaan kakek ketika sakit tidur diam dan tidak ada rintihan. Selama kakek sakit aku tetap kekebun mengerat karet. Hari keempat kekek sudah duduk di balai-balai rumah, dengan muka yang sedikit pucat, terlihat semangat juang kakek kental terlihat. “Wan, kata Surti hari ini kamu terima raport?”, tanya kakek kepadaku saat aku keluar dari pintu dengan seragam merah putih. “Iya Thok, tapi kalau kakek belum sembuh biarlah kakek istirahat saja!”, jawabku. “Tidak apa-apa Wan kakek sudah sehat, nanti aku nyusul kesekolah”, kata kakek tak bisa dicegah. Aku pergi naik sepeda yang biasa ku pakai. Sampai sekolah banyak orang tua kawan-kawanku sudah datang, mereka bercerita tentang kebun mereka dengan serunya. Jam 08.00 kepala sekolah mengumumkan melalui speaker sekolah dengan listrik dari jenset yang menderu. Orang tua masuk ruang kelas 4 dan 5 dengan sekat pembatas yang sudah dibuka. Kepala sekolah mengumumkan bahwa kelas VI pada bulan Maret harus mengikuti try out USBN, dan pada bulan Mei akan dilaksanakan USBN. Orang tua harus mendorong anak untuk banyak belajar supaya nilai bisa lebih baik. Kemudian kepala sekolah mengumumkan juara pertama dari kelas 1 sampai kelas VI. Kakekku duduk paling depan itulah kebiasaan kakek tidak pernah mau duduk di belakang. Saat mendebarkan kepala sekolah membacakan juara-juara kelas dari kelas satu sampai kelas VI. Juara ke-3 diraih oleh Udin, juara ke-2 diraih oleh Wanda, dan terakhir kepala sekolah mengumumkan juara ke-1. Lama kepala sekolah diam, riuh ruang penuh tanya. Kepala sekolah menyebut Waaaaaawan.
Kunaiki sepedaku dengan tenang melewati kebun yang hijau, jalan menuju rumahku tidak berapa menit seraca cepat jalan sepeda meluncur, jalan becek tak kurasakan, sampai dirumah jam 10.00 pagi terasa sepi, kucari kakek berkeliling rumah aku menuju kebun mungkin kakek dikebun mengumpulkan karet. Aneh batok kelapa penampung getah karet masih penuh belum dikumpulkan. Aku kembali kerumah berganti pakaian kebun aku tidak melajutkan mencari kakek. Aku akan mengumpulkan getah karet membantu kakek, sebab biasanya kakeklah yang mengumpulkan getah karet. Setengah jam aku berkeliling, akhirnya selesai. Aku melanjutkan mencari kakek. Pak Madun sudah tidak ada di kebun mungkin sudah pulang.





























BIODATA
NAMA : ROFI BADARI
TEMPAT TANGGAL LAHIR : KULONPROGO, 6 APRIL 1978
Sekolah : SD Carikan, Lendah, Kulonprogo
SMP : MTS LKMD Brosot
SMA : MAN II Wates
Perguruan Tinggi : PLB FIP Univesitas Negeri Yogyakarta
Tempat Tugas : SD N 33 Pangkalpinang
No HP : 081328565162
No rekening :

BRI unit 3397 Pangkalpinang I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar