Senin, 11 April 2011

KISAH NYATA

Kisah umum untuk menjadi pemikiran.
Sekian lama anakku belajar membaca tapi tak jua ada perkembangan yang signifikan, sekian lama ditanya dan dicoba membaca bacaan rasanya mampu dengan benar membaca, tapi kok aneh anakku tak paham juga apa yang dibacanya, tetapi ketika kuperhatikan dengan seksama ada yang aneh, kadang ia selalu menghindari akhir kata tertentu. Jika kuperhatikan hasil belajar anakku selalu mendapat nilai yang kurang memuaskan dan ranking dikelas yang rendah. Bahkan pernah tinggal kelas dikelas 3. Dalamm kegiatan belajar dengan cara tanya jawab anakku mampu mengikutidan banyak menjawab dengan benar. Namun pada akhir peneriman rapot yang kuperhatikan dia selalu dirangking rendah dan nilai yang tertentu mesti merah, kemampuan menghitung anakku lumayan inilah mungkin yang menjadi pertimbangan guru menaikkan anakku ke kelas 5. Guru pernah berpesan pada semester pertama jika kemampuan anak tidak berkembang disarankan untuk disekolahkan di SLB, agar dikelas 6 nanti bisa lulus. Inilah yang menjadi dilema dimana aku juga belum tahu SLB yang sebenarnya, sebab setahuku anak yang sekolah di SLB anak yang sering kuperhatikan dengan kondisi maaf ngiler, atau begu (tidak bisa ngomong), juga ada yang anak yang sangat bodoh. Inilah yang menjadi pemikiran, kubanding-bandingkan anakku sepertinya dari segi fisik sepertinya normal, pendengarannya juga kurasa normal ketika kupanggil dan kuajak bicara juga nyambung, bahkan banyak hal yang dia beritahukan ketika aku lupa sesuatu. Haruskah anakku kumasukkan ke SLB?. Haruskah sekarang kumasukkan ke SLB?. Kalau tidak sekarang bagaimana kalau semester depan tidak naik, kasihan dia kawan sebayanya sudah di SMP sedang anakku masih di SD?. Bagaimana jika kumasukkan di SLB, apakah dia tidak minder dengan kawan-kawan lain?.
Kisah diatas mungkin tak hanya dialami satu orang tua dimana anaknya dengan nilai yang rendah dan rangking bawah tentu dengan cerita satu sama lain tidak sama. Tetapi arah yang menjadi topik utama pembahasan adalah kondisi fisik yang normal kemampuan yang menurut ukuran kita normal tetapi dengan prestasi atau hasil nilai hasil belajar yang rendah.
Dalam kisah yang lain karena prestasi yang rendah di SD Umum anak dimasukan ke SLB. Kenyataan di SLB anak mampu mengikuti materi di SLB dengan mudah dan terlihat lebih pintar dari yang lain, apa mungkin materi belajar di SLB lebih rendah, ingin rasanya anakku kusekolahkan lagi di SD umum, apak SD umum mau menerima kembali anakku untuk belajar disana, dan apa mungkin anakku bisa mengikuti materi pelajaran di SD umum, padahal pertama sekolah di SD umum ia terlihat kewalahan mengikuti pembelajaran yang pada ditunjukan dengan prestasi yang rendah?.
Sepenggal kisah pendek kedua ini, dapat dimengerti kebingungan orang tua yang bingung akan keadaan anknya. Orang tua yang sudah terlanjur memasukkan anaknya di SLB dimana kondisi sekolah sekarang belum terbuka, dan mungkin terasa janggal ketika anak SLB bisa pindah ke SD Umum, karena biasanya dan banyak terjadi anak SD yang pindah ke SLB. Tapi mungkin belum tentu bisa anak SLB yang pindah ke SD Umum. Dan bisa jadi orang tua berfikir mungkin anakku memang ditakdirkan sekolah di SLB, “ya, sudahlah dak apa-apa!”. Haruskah kejadian ini sepanjang cerita harus terjadi dan terus serta terus terjadi?.
Penulis tidak bermaksud untuk mengkritik dunia pendidikan kita dimana pendidikan tentunya tidak hanya SLB dan SD Umum yang berjalan masing-masing, sumbang sih pemikiran dimaksudkan untuk merefleksi, dan mencari solusi penyebab kenapa anak selalu rendah prestasinya. Merunut benang kusut sedikit demi sedikit harus diupayakan agar kemampuan anak didik berkembang. Dan SLB tak hanya menjadi pelarian karena rendah prestasi di SD Umum. Serta tidak menjadikan SLB sebagai rumah sakit rehabilitasi. Tetapi jika memang terjadi demikian sungguh besar jasa guru SLB, anak yang datang ke SLB karena sudah susah berkembang di SD Umum.
Anak didik berkembang sesuai potensinya merupakan hak asasi, pilihan tempat belajar merupakan hak anak didik. Sekolah tidak bisa menghakimi anak didik harus sekolah dimana, dan tetap harus di sekolah tertentu sampai ia merasa selesai menamatkan pendidikan, atau dianggap selesai jika telah melalui tahapan yang ditetapkan lembaga pendidikan. Peran sekolah selesai ketika anak didik sudah pindah dan tidak mau tahu tentang kondisi anak didiknya. Ketika anak didik sudah pindah maka ia tidak bisa lagi kembali ke sekolah semula, sekalipun dengan kondisi yang berbeda.
Untuk dapat membaca permulaan, seorang anak dituntut agar mampu:
1. Membedakan bentuk huruf
2. Mengucapkan bunyi dan kata dengan benar
3. Mengerakkan mata dengan cepat dari kiri ke kanan sesuai dengan urutan tulisan yang dibaca,
4. Menyuarakan tulisan yang sedang dibaca dengan benar,
5. Mengenal arti tanda-tanda baca, serta
6. Mengaur tinggi rendah suara sesuai dengan bunyi, makna kata yang diucap serta tanda baca.
Aspek-apek membaca permulaan tersebut, maka kesulitan belajar membaca permulaan yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut:
1. Tidak dapat membedakan bentuk huruf
Hal ini dapat kita lihat pada anak-anak yang sering mengacaukan huruf d dan b, huruf k dengan h, atau a dengan d, jika hal ini terjadi maka tentunya anak tidak akan dapat melakukan decoding, yaitu membaca tulisan sesuai dengan bunyinya.
Teknik mengenal decoding huruf untuk mengetahui kesulitan membedakan huruf:
a. Dilakukan secara terpisah
Bacalah huruf abjad berikut:
a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z
(jenis huruf menggunakan comic san MS) sebab tulisan ini lebih hampir mirip dengan tulisan tangan dalam menulis huruf tegak tidak bersambung, kemudahan dpat dibandingkan saat anak belajar mengenal huruf dengan jenis huruf Times new roman huruf sebagai berikut (a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z). Ada dua huruf yang berbeda penulisannya dengan tulisan tangan yaitu pada huruf a dan g, juga huruf terlihat sudut yang akan terlihat ketika huruf diperbesar.
Anak yang sudah mengenal huruf abjad akan dengan mudah mengucapkan setiap huruf yang diinginkan, kesulitan dapat ditemukan saat kita menunjuk huruf dan anak membaca jika kita merasa ada perbedaan tentunya kita sudah bisa menemukan dimana kesalahan terjadi.
Berilah tanda pada saat anak membaca salah pada huruf abjad tertentu:

a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z

Ulangi membaca beberapa kali temukan perbedaan membaca anak, apabila kesalahan selalu pada beberapa huruf yang telah ditemukan, bisa kita simpulkan dimana kesulitan anak.
Pisahkan huruf yang dibaca tidak tepat oleh anak.
Misalkan jika anak tidak tepat dalam membaca b, d, g, p, q, u, n, k, h, terjadi kesalahan tidak serta merta tidak mampu membaca huruf ini. Ada kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam:
1. Membedakan bentuk huruf karena anak belum memahami benar orientasi kanan kiri huruf. Pada saat membaca huruf b dibaca d, p dan q.
2. Anak belum mengenal orientasi atas bawah
Ketidakmampuan orientasi atas bawah bisa terlihat saat anak membaca huruf d dan p, u dan n.
Latihan yang dapat diberikan seperti:
Penggunaan kartu huruf yang melibatkan huruf b, d, g, p, q, u, n, k, h, kita dapat membuat kartu huruf dengan bahan yang sederhana tanpa harus membeli, dalam menulis huruf dapat menggunakan spidol berwarna agar lebih menarik, serta dengan warna ini ingatan akan lebih terbantu dari pada tulisan polos.

b. Dilakukan dalam membaca kata
2. Tidak dapat mengucapkan dengan benar

3. Melompati bagian yang harus dibaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar