Selasa, 12 April 2011

DETEKSI DINI ANAK BERBAKAT

Deteksi Dini dan Penanganan Anak Berbakat
Agnes | July 10, 2005 2:14 am | Print
Pikiran Rakyat, 10 Juli 2005
Klik di sini
Ini Versi aslinya, di PR banyak yang di edit tampaknya karena terlalu panjang.
Setiap anak adalah unik. Namun, apakah setiap anak pada dasarnya cerdas, jenius atau berbakat seperti yang sering digembar gemborkan belakangan ini? Apa Sebetulnya yang dimaksud dengan anak berbakat? Bagaimana ciri-cirinya, dan bagaimana pula mendeteksi serta menanganinya? Dalam Seminar Online We R Mommies Indonesia yang ke-3 pertengahan Juni lalu, permasalahan anak berbakat ini dikupas secara mendalam. Selama 6 hari, peserta menyimak uraian dari nara sumber, melakukan tanya jawab, dan saling berdiskusi diantara sesama peserta secara online dari komputer masing-masing. Tiga orang nara sumber yang terdiri dari ibu Ike R. Sugianto Psi., dr. Waldi Nurhamzah SpA., dan juga ibu Dr.drg. Julia VanTiel, Ms, mendapatkan �banjir� pertanyaan dari para peserta.We R Mommies Indonesia sendiri merupakan sebuah mailing list yang didirikan untuk berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan seputar kehidupan ibu, calon ibu dan wanita umumnya. Kali ini, WRM menyelenggarakan seminar online dengan topik �Deteksi Dini dan Penanganan Anak Berbakat�. Topik ini tampaknya begitu diminati masyarakat, terbukti dengan jumlah peserta seminar online yang mencapai 509 orang. Sebagian besar peserta berasal dari Jakarta. Sisanya adalah masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru dunia seperti Amerika Serikat, Belanda, Hongkong, Singapura, Jepang, Jerman, Myanmar, Malaysia dan Australia.

Dalam tulisannya yang berjudul �Repotnya Ilmu Keberbakatan�, ibu Julia Van Tiel�yang juga memiliki anak berbakat dengan disinkroni perkembangan� menegaskan bahwa keberbakatan adalah suatu potensi bawaan (genetik/nature). Sesuai dengan teori nature dan nuture yang kini menjadi pegangan para ahli anak berbakat diseluruh dunia, potensi bawaan ini memerlukan pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan personalitas yang dipunyai setiap anak berbakat (nurture). Jadi setiap anak memang terlahir unik. Tapi apakah setiap anak terlahir cerdas? Belum tentu jawabnya.
Dalam makalahnya, lebih lanjut ibu Julia mengatakan bahwa keberbakatan mempunyai pengertian yang sangat kompleks dan bukan merupakan faktor tunggal. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah giftedness dan untuk anak berbakat digunakan istilah gifted children. Lantaran anak-anak balita belum bisa dikatakan sebagai anak berbakat (gifted children) �karena belum dapat dilakukan tes IQ padanya�maka di Belanda anak-anak ini disebut anak yang mengalami loncatan perkembangan (kinderen met ontwikkeling voorsprong).
Konsep anak berbakat yang sering dipakai adalah milik Renzulli, yang mengidentifikasikan bahwa seorang anak dapat dikatakan sebagai anak berbakat jika ia mempunyai: inteligensia yang tinggi di atas rata-rata (IQ lebih dari 130) ; kreativitas yang tinggi; serta motivasi dan ketahanan kerja yang tinggi pula. Namun M�nks menambahkan potensi itu tidak akan terwujud jika tidak ada dukungan dari keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dari kedua ahli ini maka dilengkapilah pengertian keberbakatan dengan ringkasan yang disebut Triadik Renzulli-M�nks.
Deteksi Dini
Lalu bagaimanakah cara dokter mendeteksi secara dini keberbakatan seorang anak? Dokter Waldi Nurhamzah SpA. yang juga staf pengajar di FKUI ini menjelaskan bahwa dalam pendidikan bidang kedokteran anak (pediatri, S2) para siswa-didik tidak mendapatkan pendidikan kemampuan untuk melakukaan penilaian (assesment) terhadap anak-berbakat. Materi pembelajaran di bidang pediatri yg ditempuh selama 4 tahun di Indonesia mencakup persoalan pediatri yg masih mengemuka di Indonesia (“must know”)�seperti penyakit infeksi yang masih merupakan penyakit mayoritas. Alhasil persoalan dengan insidens kecil lazimnya merupakan pembelajaran yg “nice to know” saja.
�Konsekuensinya, para dokter anak (sebagai produknya) juga tidak mengetahui masalah anak-berbakat. Hanya dokter yang tertarik saja mungkin yang mendalaminya sendiri. Jadi bila dalam asesment pediatri timbul gangguan perkembangan yang mengarah ke lingkup psikologi, maka kasus tersebut dirujuk ke psikolog atau psikiater.� Tutur dokter Waldi menjelaskan.
Melanjutkan pendapat dokter Waldi, ibu Julia yang kini aktif mengasuh mailing list anak berbakat ini menekankan tentang pentingnya masalah deteksi dini anak berbakat. �Deteksi dini tentu saja memerlukan berbagai pendekatan dari beragam keilmuan terutama psikolog, dokter, pedagog, juga bantuan guru dan orang tua dalam pengamatannya. Deteksi dini sangat penting, karena akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, banyak diantara anak-anak ini terjerat diagnosa berbagai gangguan baik gangguan perilaku bermasalah, maupun gangguan mental. Mereka kemudian mendapatkan terapi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Pada akhirnya terapi tersebut malah akan menyebabkan potensi keberbakatan yang dimilikinya tidak terpupuk dengan baik. Kondisi tersebut bahkan bisa menyebabkan anak menjadi frustasi, marah, tidak percaya diri, memiliki rasa takut yang hebat, mengalamai psikosomatis dan berbagai problem lainnya .� Paparnya dalam makalahnya.
Lantas, apa yang dilakukan oleh seorang psikolog dalam mendeteksi anak berbakat? Ibu Ike R.Sugianto Psi. yang saat ini bekerja di klinik Anakku Greenville mengemukakan tentang metode pengukuran dalam ilmu psikologi. Biasanya akan dilakukan observasi, wawancara dan tes untuk seorang anak. Namun tes hanya bisa dilakukan oleh ahlinya. Observasi sebetulnya bisa dilakukan oleh orang tua dengan cara membandingkan perilaku anak dengan ciri-ciri anak berbakat. Tapi tentu saja, kondisi ideal adalah dengan melakukan ketiga metoda tersebut.
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan seputar cara untuk mengetahui bakat anak, ibu Ike menegaskan bahwa tidak ada tes yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi bakat anak. Tes IQ tidak digunakan untuk melihat minat dan bakat anak. Sesuai dengan namanya, tes ini lebih diarahkan kepada pengukuran intelektual (intelligency Quotient). Sedangkan tes minat dan bakat yang dilakukan dengan battery psikologi, lebih tepat dikenakan pada anak-anak diatas tingkat SMP untuk penjurusan atau memantapkan pemilihan studi di perguruan tinggi. Jadi yang perlu dilakukan oleh orangtua bukanlah mengidentifikasi bakat apa, tetapi memperhatikan minat anak dengan memperkenalkan secara bertahap pada anak.
Mengenai bakat serta minat anak ini, ibu Julia menekankan, jika anak secara intens melakukan kegiatan dengan dorongan internalnya (motivasi) dan dilakukannya dengan enjoy, maka kemungkinan besar itulah minat dan bakatnya. Selain itu untuk membedakan mana anak berbakat dan bukan dapat diketahui dari kemampuan anak untuk secara mandiri mengembangkan minatnya tersebut. Anak berbakat (gifted) selain mempunyai tempo yang cepat dalam belajar, juga bisa dilepas (mandiri) dan mampu menggubah lagi dengan motivasi dari dalam diri yang kuat.
Penanganan
�Bila anak saya (usia 3,5 tahun) mempunyai tanda-tanda anak berbakat, apa yang harus saya lakukan?� Tanya salah seorang peserta seminar. Ternyata anak usia 3,5 tahun belum bisa dikatakan anak berbakat, karena seringkali hasil testnya belum bisa dipercaya karena ia masih berkembang. Anak tersebut dikatakan mengalami loncatan perkembangan. Sebaiknya orangtua dengan anak seperti ini mencari sumber-sumber bacaan tentang perkembangan anak berbakat dan mempelajari betul bagaimana perkembangan kognitif serta otak anak-anak. Hal ini penting guna mengetahui lebih dalam tentang personalitasnya, agar bisa lebih luwes mengasuhnya. Tentu saja literatur yang dibaca pun tidak bisa sembarangan. Sumber bacaan harus dipilih dari berbagai literatur yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
Lebih lanjut tentang penanganan anak berbakat ini, ibu Julia menjelaskan �Begitu kita tahu bahwa anak kita mempunyai loncatan perkembangan intelektualitas, maka ia memerlukan pengasuhan dan pendidikan yang terstruktur yang tidak mencegat perkembangannya. Karena anak-anak ini mempunyai dorongan internal untuk mengembangkan intelektualitas sangat besar, keras kepala, dan sangat perfeksionis, serta mempunyai cara berfikir (cognitive style) yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Latihan program akselerasi umumnya digunakan dalam proyek pengembangan anak berbakat, namun sebetulnya akselerasi dimaksudkan sebagai upaya percepatan. Disamping akselarasi juga perlu diadakan pengkayaan (enrichment), dan pendalaman.
Bagaimana penanganan untuk anak berbakat yang juga penyandang masalah seperti ketertinggalan perkembangan kemampuan bahasa, atau learning disabilities (misalnya disleksia) ? Bagi anak seperti ini, kondisinya memang cukup membingungkan, apalagi di Indonesia. Orangtua perlu memeriksakan anaknya lebih lanjut kepada psikolog perkembangan. Di Amerika, anak-anak seperti ini umumnya tidak bisa dimasukkan program gifted children (karena punya masalah), juga tidak bisa masuk sekolah reguler (karena punya masalah). Jadi harus masuk dahulu ke sekolah luar biasa. Inilah yang menyebabkan kebingungan para orang tua, karena di sekolah itu tidak mendapatkan perhatian sebagai anak berbakat.
Penanganan anak berbakat memang cukup rumit, apalagi di Indonesia. Tetapi dengan memahami keunikannya, menambah sumber-sumber bacaan yang memadai, selalu berusaha dan tentu saja berdoa, semoga dapat menjadikan orangtua sebagai fasilitator yang baik sehingga anak-anak tersebut kelak dapat berkembang optimal sesuai potensi yang dimilikinya.(Agnes Tri Harjaningrum, Dokter, ibu 2 orang anak, tinggal di Belanda)
Di Indonesia homeschooling sudah ada sejak lama. Sedangkan pengertian Homeschooling (HS) sendiri adalah model alternatif belajar selain di sekolah. Tak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling. Selain homeschooling, ada istilah “home education”, atau “home-based learning” yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama.
Dalam bahasa Indonesia, ada yang menggunakan istilah “sekolah rumah”. Ada juga orangtua yang secara pribadi lebih suka mengartikan homeschooling dengan istilah “sekolah mandiri”. Tapi nama bukanlah sebuah isu. Disebut apapun, yang terpenting adalah esensinya.
Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah.
Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses magang (internship), dan sebagainya.
Sesuai namanya, proses homeschooling memang berpusat di rumah. Tetapi, proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooling dapat menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya.
Keberadaan homeschooling Indonesia telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (10) yang berbunyi:
“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”
Dalam praktek homeschooling tidak harus memenuhi penyetaraan pendidikan. Pendidikan kesetaraan adalah hak dan bersifat opsional. Jika praktisi homeschooling menginginkannya, mereka dapat menempuhnya. Jika tidak, mereka tetap dapat memilih dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tetapi Penyetaraan ini digunakan untuk dapat dihargai dan setara dengan hasil pendidikan formal, tentu setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
enyetaraan dalam praktek homeschooling yaitu penyetaraan ujian, penilaian, penyelenggaraan, dan tujuan pendidikan. Pendidikan kesetaraan dalam ujian nasional meliputi program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA.
Kelebihan homeschooling:
• Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
• Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
• Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
• Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.
• Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).
• Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).
• Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua
Kekurangan homeschooling:
• Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
• Sosialisasi seumur (peer-group socialization) relatif rendah. Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial.
• Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan.
• Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.
Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu sistem sesuai untuk kondisi tertentu dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Daripada mencari sistem yang super, lebih baik mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi kita.
Sistem pendidikan anak melalui sekolah memang umum dan sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun lamanya. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat.
Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah hanyalah salah satu cara bagi anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna. Itulah sebabnya, selalu ada peluang pembaruan untuk memperbaiki sistem pendidikan; baik di level filosofi, insitusi, approach, dan sebagainya.
Sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya, orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Homeschooling menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua; memiliki kelebihan dan kekurangan inheren di dalam sistemnya.
Tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa kita telah memberikan yang maksimal untuk anak-anak kita, dengan segala batasan (constraint) yang kita miliki.
GURU INSPIRATIF, KUNCI UTAMA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh Ngainun Naim)
“Rahasia kekuatan guru terletak pada keyakinannya bahwa manusia dapat berubah, dan mereka juga. Mereka menghendaki kebangkitan, dan untuk itu, mereka membutuhkan guru untuk membangkitkan jiwa dari kebiasaan tidurnya” –Emerson
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih jauh dari harapan. Berbagai persoalan terus saja membelit dan tidak mampu dipecahkan secara tuntas. Kondisi semacam inilah yang menjadikan kualitas pendidikan Indonesia semakin tertinggal dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara-negara maju.
Seharusnya menjadi kesadaran semua pihak, terutama para pemegang kebijakan—para wakil rakyat dan birokrasi pendidikan—bahwa dunia pendidikan Indonesia memerlukan pembenahan secara total. Hanya dengan cara semacam ini, dunia pendidikan Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya. Dalam usaha untuk melakukan perbaikan, berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan oleh pemerintah. Namun sayangnya, sampai saat ini belum terjadi perubahan secara signifikan. Bahkan tidak terlalu berlebihan jika dikatakan dunia pendidikan Indonesia tak ubahnya jalan di tempat.
Nampaknya, ada satu kunci penting dalam reformasi dunia pendidikan yang kurang memperoleh perhatian secara serius, yaitu guru. Dengan menitikberatkan pada eksistensi guru yang berkualitas bukan berarti aspek yang lainnya tidak penting. Namun penulis memiliki keyakinan bahwa guru yang berkualitas akan mampu menutupi celah kekurangan pada aspek lainnya.
Guru yang memiliki kualitas yang baik akan mampu menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang unggul, meskipun sarana dan prasana di sekolah jauh dari memadai. Kita layak mengapresiasi apa yang ditulis oleh Andrea Hirata lewat novel larisnya, Laskar Pelangi. Sosok Bu Guru Muslimah yang dengan sepenuh hati mendidik telah memberi inspirasi dan menorehkan pengaruh mendalam terhadap para siswanya.
Sosok guru semacam inilah yang penting. Tentu hasil pendidikan akan jauh lebih memuaskan jika guru berkualitas diimbangi dengan tersedianya sarana prasarana yang mendukung bagi pencapaian hasil belajar secara maksimal. Tetapi sarana dan segala perangkat pendukung pembelajaran yang sangat lengkap tidak akan banyak artinya jika guru tidak mampu memaksimalkan dalam penggunaannya. Justru semuanya hanya akan menjadi barang mati yang teronggok di setiap sudut sekolah.
Memang, perhatian terhadap guru sekarang ini telah mulai menggembirakan, terutama dengan adanya program sertifikasi. Namun program sertifikasi belum menjawab terhadap tantangan dan kebutuhan reformasi secara total. Guru seharusnya lebih diberdayakan secara maksimal sehingga potensinya dapat tumbuh berkembang secara pesat. Hanya guru yang berdaya saja yang mampu membangun jiwa anak didiknya menjadi manusia yang lebih berkualitas.
Kita layak belajar banyak ke negeri Jepang. Ketika Negeri Matahari Terbit tersebut luluh lantak oleh bom atom pada tahun 1945, pertanyaan utama Kaisar Jepang adalah; masih berapa jumlah guru yang hidup? Pertanyaan ini kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan perhatian secara serius terhadap eksistensi guru. Langkah Jepang ini terbukti sangat strategis. Hal ini dibuktikan dengan melesatnya kemajuan Jepang menyusul negeri-negeri Barat.
Langkah semacam ini layak untuk ditiru Indonesia. Sesuai dengan kebutuhan sekarang ini, guru yang sangat dibutuhkan adalah—meminjam istilah Rhenald Khasali—guru inspiratif. Guru inspiratif bukan guru yang hanya mengejar kurikulum, tetapi lebih dari itu, mengajak siswa-siswanya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak siswa-siswanya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka guru inspiratif akan melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Sebagaimana ditegaskan oleh Khasali (2007), karya-karya pembaruan, baik berupa temuan yang spektakuler di dunia keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak secara nyata dalam kehidupan di masyarakat. Namun tak dapat dipungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Tetapi tidak semua sekolah mampu melakukan hal yang luar biasa semacam itu. Hanya sekolah yang memiliki guru inspiratif saja yang mampu melakukannya. Perubahan menuju ke arah yang lebih baik dalam bentuk karya-karya pembaruan, lahir dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya pengembangan kreativitas. Ia akan tergerak untuk memperbaiki hal-hal yang dipercaya oleh banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected). Kegelisahan ini kemudian melahirkan kreativitas yang ditransformasikan dalam proses pembelajaran. Bagi guru inspiratif, segalanya mungkin untuk dilakukan perubahan. Kondisi yang penuh problematika sekalipun dapat diurai secara jernih dan ditemukan solusinya untuk berubah menjadi lebih baik.
Lewat tangan terampil guru inspiratif, pendidikan diharapkan mampu untuk melahirkan manusia-manusia siap pakai dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja serta mampu membekali mereka dengan kecakapan hidup (live skills). Dalam kerangka untuk mewujudkan hal tersebut, proses pembelajaran harus mengutamakan pemecahan masalah (problem solving) secara reflektif melalui kerjasama secara demokratis. Anak didik harus dibekali dengan kesadaran terhadap pilar pendidikan yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), belajar seumur hidup (live long learning ).
Penyelenggaraan pendidikan yang masih bersifat birokratik-sentralistik harus dirubah menuju desentralisasi pendidikan, yang dilakukan secara konsekuen dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan, baik perangkat lunak maupun perangkat keras (soft ware-hard ware). Pemerintah harus konsekuen terhadap akibat kebijakan tersebut, dengan memotivasi meningkatnya seluruh aspek yang ada dalam sistem pendidikan, seperti menyediakan dana yang memadai secara riil dan meningkatkan profesionalitas pendidik atau guru dan kepala sekolah.
Pendidikan seperti itulah yang dibutuhkan sekarang, karena model pendidikan tersebut mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi dan mampu pula mengarahkan serta mengendalikan perubahan-perubahan itu. Dengan konsepsi semacam ini, pendidikan dapat menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan mampu mengubahnya.
Satu dimensi penting yang perlu untuk dijadikan pedoman bagi seorang guru inspiratif, yaitu pengembangan nalar kritis. Pengembangan nalar kritis sangat penting artinya untuk membentuk anak didik yang memiliki kepribadian yang kokoh. Secara teknis-operasional, Alwasilah membangun sebuah rumusan yang disebut “delapan dalil critical pedagogy” berikut contoh implikasinya dalam konteks pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Delapan dalil tersebut adalah; pertama, pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi juga politik. Mata-mata pelajaran, dengan kata lain, tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan, fakta atau dalil yang ditarik dari pengamatan alam fisik atau alam sosial, tapi juga harus menanamkan pada siswa kesadaran akan hak-hak politiknya sebagai warga negara. Artinya, guru bahasa Inggris, misalnya, berkewajiban bukan hanya mengajarkan to have dan to be; is, am, are sampai dengan komposisi alinea yang logis, berterima, dan komunikatif, tetapi juga berkewajiban berakrobat simsalabim kultural dan kurikuler untuk mentransformasi siswa menjadi masyarakat yang sadar politik (political society). Ini tidak berarti melatih siswa SMP dan SMA, juga mahasiswa, menjadi politisi seperti anggota aktif suatu partai politik. Yang terpenting adalah penanaman pada para siswa sikap politik yang demokratis. Untuk menjadi warga negara demokratis, mereka tidak harus menjadi politikus. Sadar akan hak dan kewajiban dalam keseharian di sekolah sesungguhnya merupakan pendidikan politik yang membumi.
Kedua, etika seyogyanya dipahami sebagai sentralnya pendidikan. Guru mengajarkan bukan hanya pengetahuan dan ketrampilan bahasa tetapi juga mengajarkan apa yang benar dan tidak benar. Ada anggapan bahwa etika merupakan garapan guru agama, budi pekerti, atau ilmu sosial lainnya. Konsep dasar linguistik ihwal dikotomi deskriptif-perspektif, berterima-takberterima, dan gramatik-takgramatik sebenarnya berlaku juga dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berbahasa berarti kepandaian menggunakan bahasa yang bukan saja benar secara gramatik, tetapi juga berterima secara sosial. Inilah gambaran keseimbangan dinamis dan fungsional antara teks dan konteks atau antara sisi mikro dan sisi makro dari uang logam yang bernama sosiolinguistik.
Ketiga, pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan pada siswa dan guru dalam aspek-aspek ras, etnis, bahasa, gender; dalil yang sungguh senapas Bhineka Tunggal Ika. Pendidikan bahasa dan pendidikan pada umumnya seyogianya mengakui dan memvalidasi eksistensi perbedaan-perbedaan itu, dan secara bertahap dan berkeadilan membuat batas-batas perbedaan itu semakin tipis dan mudah dipahami. Pendidikan secara objektif dan demokratis membentangkan persamaan atau benang merah kultural sebagai perekat kesatuan dan kebersamaan kultural.
Keempat, kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang mengharamkan munculnya interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada pihak pelaksanaannya. Alih-alih kurikulum seyogianya diubah menjadi arena di mana ayat-ayat ilmu pengetahuan ditantang dan dipertanyakan secara lugas, bebas, akademik, demokratik, dan sinambung. Dalam keilmuan justru keraguan atas kebenaran yang menimbulkan ilmu baru dan inovasi. Sebaliknya, sikap nrimo sebagai cerminan rendahnya daya nalar dan kreativitas adalah biang keladi dari kejumudan iptek.
Kelima, pendidikan seyogianya bukan hanya mengkritisi bentuk-bentuk ilmu pengetahuan yang ada, tetapi meronta-ronta mencari, merumuskan dan akhirnya menawarkan bentuk-bentuk baru dari ilmu pengetahuan. Artinya, pendidikan bukan sekedar mempertahankan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, tetapi justru menghasilkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan baru.
Keenam, pendidikan seyogianya mereformulasi apa yang selama ini diklaim sebagai kebenaran, demi mendapatkan versi dan interpretasi yang lebih parsial dan khusus dari ilmu pengetahuan, teknologi, kebenaran, dan alasan, serta kebernalaran. Salah satu upaya untuk menemukan versi dan interpretasi baru ini adalah dengan melakukan sinerji antara berbagai disiplin ilmu, semisal sinerji antara linguistik dengan sosiologi, antropologi, komunikasi, matematika, psikologi, politik, ekonomi, statistik, dan agama. Sudut pandang yang warna-warni ini akan menyemarakkan kebenaran saintifik (sementara) dan dengan sendirinya mereformulasikannya dalam wujud kebenaran alternatif untuk dikritisi.
Ketujuh, pendidikan mesti mewadahi bukan hanya wacana untuk mengkritisi apa yang mapan, tetapi juga menawarkan visi demi masa depan mendatang yang lebih baik yang diperjuangkan tanpa mengenal lelah.
Dan kedelapan, para guru bahasa seyogianya melihat dirinya, seperti kata Henry A. Giroux, sebagai transformative intellectual, yakni intelektual yang memiliki komitmen perkasa untuk melakukan transformasi sosial demi perbaikan. Guru tidak boleh disepelekan dengan menganggapnya sebagai teknisi di kelas bahasa, yakni abdi dalem para penguasa, khususnya birokrat pendidikan yang senantiasa harus patuh terhadap ayat-ayat kurikulum sebagai teks suci (2008: 110-112).
Guru inspiratif juga harus senantiasa menanamkan kepada anak didiknya perlunya sikap mental positif dan kukuh dalam menghadapi kehidupan ini. Satu aspek yang nampaknya kurang memperoleh perhatian dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah aspek mentalitas siswa. Sekolah selama ini lebih sibuk dengan aspek pengajaran, sehingga aspek yang lebih mendasar, yaitu mentalitas, jarang tersentuh.
Membangun mentalitas tidak harus dijadikan satu pelajaran formal tersendiri, tetapi dapat dimasukkan secara implisit dalam setiap pelajaran. Metode yang ditempuh bisa sangat beragam, tergantung konteksnya. Tetapi yang lebih penting, kesadaran membangun membangun mentalitas menjadi paradigma penting tertanam dalam diri semua pihak terkait dalam dunia pendidikan. Ia bisa dihadirkan di tengah-tengah mata pelajaran tertentu.
Ada cukup banyak bukti empiris bahwa mereka yang memiliki nilai unggul ketika sekolah, ternyata harus gagal dalam menjalani hidup. Sementara mereka yang biasa-biasa saja ketika sekolah, justru sukses dalam kompetisi hidup. Kesuksesan akan lebih memiliki potensi besar untuk diraih pada mereka yang memiliki kombinasi antara kecerdasan intelektual dan emosional. Persoalannya, kecerdasan untuk meraih nilai-nilai optimal dalam sekolah tidak dimiliki oleh semua siswa. Oleh karena itu, untuk memberi bekal penting dalam menjalani kehidupan, penanaman mentalitas yang kokoh menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki mentalitas yang kuat untuk meraih keberhasilan. Perjalanan hidup kita sebagai manusia senantiasa melewati tahap kegagalan demi kegagalan sebelum meraih kesuksesan. Hidup manusia pada dasarnya adalah proses pertumbuhan yang penuh perjuangan terus berlanjut sampai pada tahapan-tahapan lain dalam jenjang kehidupan yang harus dilalui. Mungkin fenomena perjuangan untuk meraih kesuksesan ini jarang kita cermati dan refleksikan dalam kehidupan kita. Padahal, sebenarnya ada makna besar yang memiliki relevansi dan spirit penting yang dapat dijadikan landasan untuk membangun mentalitas. Seorang bayi mampu melakukan itu semua karena dia masih manusia suci. Dia belum mengenal konsep kegagalan (Anne Craigh, 2008).
Orang tua dan sekolah, dalam kenyataannya, tanpa sadar membangun ketakutan terhadap kegagalan. Padahal, kegagalan adalah pintu penting untuk meraih kesuksesan. Kesuksesan dalam bidang apapun tidak akan muncul begitu saja. Untuk keraih kesuksesan, dibutuhkan perjuangan secara terus menerus. Sebagaimana seorang bayi yang belajar berjalan, demikian juga dengan hakikat kesuksesan.
Ada banyak perspektif yang dapat digunakan untuk membangun mentalitas ini. Salah satu yang dapat digunakan adalah tawaran dari Paul G. Stoltz. Dalam buku yang ditulisnya, Stoltz (2007: 17-37), menyebutkan bahwa hidup manusia dapat diibaratkan dengan usaha untuk mendaki sebuah gunung. Jalan yang harus ditempuh manusia untuk meniti hidup, dari sudut pandang Stoltz, akan secara otomatis membagi manusia ke dalam beberapa kriteria. Pertama, Mereka yang Berhenti (Quitters). Mereka yang masuk dalam kategori ini menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Ironisnya, seiring dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang mereka elakkan dengan memilih untuk tidak mendaki.
Perspektif yang ditawarkan Stoltz ini memiliki relevansi jika digunakan sebagai kerangka untuk melihat mentalitas siswa di sekolah. Para siswa yang termasuk kategori Quitters nampaknya menjadi bagian yang cukup besar dalam dunia pendidikan. Mereka umumnya tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depannya. Menuntut ilmu akan dijalani secara minimalis. Tidak ada usaha yang serius, tidak ada visi dan harapan tentang kehidupan mendatang yang cerah, dan menjalani sekolah secara ogah-ogahan.
Kelompok kedua yang dianalisis Stoltz dikategorikan sebagai Mereka yang Berkemah (Campers). Berbeda dengan kelompok Quitters, kelompok Campers telah melakukan perjalanan Mendaki, namun mereka pergi tidak seberapa jauh. Karena bosan, mereka mengakhiri Pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ.
Walaupun lebih baik dari Quitters, Campers sebenarnya memiliki kelemahan, terutama pada mentalitasnya untuk berhenti Mendaki. Dengan ulasan menarik, Stoltz mengilustrasikan Campers sebagai orang yang sambil memasang tenda, memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda dengan barang-barang yang sedapat mungkin membuatnya nyaman. Ini berarti Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Dengan kritis Stoltz menyatakan bahwa Campers menciptakan semacam “penjara yang nyaman”—sebuah tempat yang terlalu enak untuk ditinggalkan.
Kategori ketiga adalah Climbers. Kelompok ketiga ini membaktikan dirinya seumur hidup dalam Pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia terus Mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, atau hambatan lainnya menghalangi Pendakiannya. Mereka melakukan semua ini dengan memahami tujuannya dan bisa merasakan gairahnya. Karena tahu bahwa mencapai puncak itu tidak mudah, maka Climbers tidak pernah melupakan “kekuatan” dari perjalanan yang pernah ditempuhnya.
Namun harus dipahami bahwa manusia tidak selamanya berada dalam kestabilan emosi. Suatu ketika ada kebosanan, kejenuhan, kemalasan, dan keraguan. Hal yang sama juga dialami oleh Climbers. Namun berbeda dengan Quitters dan Campers, komitmen untuk maju, untuk melangkah ke depan, dan mencapai tempat yang lebih tinggi lagi dengan mengatasi tantangan-tantangan dan perasaan takut yang pasti muncul, menjadikan Climbers segera bangkit kembali dan mengumpulkan energi baru untuk melakukan Pendakian selanjutnya. Mereka tidak terjebak dalam kemunduran secara terus menerus. Tanpa menggantungkan diri kepada orang lain, mereka mampu untuk memotivasi dirinya sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup. Oleh karena itu, mereka senantiasa belajar tiada henti untuk terus melakukan perbaikan, mencari cara-cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusi.
Dalam konteks pendidikan, mentalitas Climbers termanifestasi dalam optimalisasi segenap potensi. Jika para siswa telah memiliki mentalitas Climbers, mereka akan mampu untuk memperbesar kemampuannya dalam memberikan kontribusi dan memperbaiki diri seumur hidup. Mentalitas semacam inilah yang seharusnya dipupuk, ditumbuhkembangkan, dan diberdayakan secara maksimal.
Hanya guru inspiratif yang mampu menggali potensi-potensi penting di dalam diri masing-masing anak didiknya. Jika saja sebagian besar guru memiliki kategori semacam ini, maka sistem pendidikan Indonesia akan berubah menjadi lebih baik. Jadi, untuk membangun sistem pendidikan yang lebih kokoh, langkah yang mendasar adalah membangun guru inspiratif sebanyak-banyaknya.
——————————–
*
Disampaikan Sahabat Ngainun Naim untuk seminar PMII Cabang Kebumen, Rabo, 30 Juni 2010.
Ia adalah ¨ Penulis beberapa buku, di antaranya Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). Sehari-hari menjadi dosen STAIN Tulungagung.
Daftar Rujukan
A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosdakarya, 2008.
Andrea Hirata, Laskar Pelangi, Yogyakarta: Bentang, 2008.
Anne Craigh, Cerdas Tanpa Belajar, Jakarta: Jabal, 2008.
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient, Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, terj. T. Hermaya, Cet. 7, Jakarta : Grasindo, 2007.
Rhenald Khasali, “Guru Kurikulum dan Guru Inspiratif”, Kompas, 29 Agustus 2007.
sekolah Alam
Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

"Freedom Writers" Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected)

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum. Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh. Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng. Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan.
Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan.

Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank. Keluar dari belenggu Apa yang
dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin
menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum. Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi.

Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar. Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal. Ada dua masalah yang harus direnungkan.

Pertama, guru kurikulum hanya membentuk kompetensi (student's ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia atau Aku bisa lebih hebat lagi.

Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral. Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum". Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.

Kata Jagdish N Sheth, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak
dimiliki. Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan "memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif. (Sumber : http://migas-indonesia.net/ , diunduh 13 Agustus 2009)

Pertanyaan selanjutnya yang menjadi relevan adalah bagaimana menjadi guru yang inspiratif (how to create inspiring teacher)? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman 423 tertera bahwa inspirasi adalah ilham. Sementara ilham merupakan “1. Petunjuk Tuhan yang timbul di hati, 2. Pikiran (angan-angan) yang timbul dari hati, 3. sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta.†Guru inspiratif mencerminkan kemampuan guru dalam menggerakkan hati dan potensi peserta didik untuk sesuatu yang bermanfaat buat kehidupan dirinya dan orang lain. Dalam tulisan Rhenald dicontohkan Erin Gruwell dalam film Freedom Writers yang juga pernah saya lihat. Dalam perspektif yang mendunia, contoh guru ideal yang menginspirasi anak manusia dunia adalah Nabi Muhammad Saw. Lebih dari 1,5 Miliar manusia beragama muslim karena sifat Rasul yang sudah praksis : STAF (Shiddiq=integritas, kejujuran, Tabligh=komunikatif, Amanah=dapat dipercaya, memegang teguh nilai, dan Fathonah=cerdas).

Beberapa pemikiran ini dapat dilakukan agar guru menjadi inspiratif bagi peserta didiknya.

1. Menjaga komitmen untuk terus memberikan spirit kreatif-inspiratif kepada siswa

Pesan ini ditulis oleh Ngainun Naim penulis buku Menjadi Guru Inspiratif yang terbit April 2009. Guru inspiratif itu bukan sesuatu yang given. Ia adalah proses. Tidak muncul begitu saja. Ketika menjadi guru, langsung menjadi inspirasi. Jelas tidak semudah itu. Sebab, institusi pendidikan pencetak guru pun tak pernah membekali kemampuan seperti itu. Oleh sebab itu, guru inspiratif harus dibentuk. Salah satu faktornya adalah menjaga komitmen untuk terus memberi spirit kreatif-inspiratif kepada para siswa. Dengan spirit ini, guru dapat menciptakan manusia unggul yang penuh dengan kreativitas dan kemampuan kompetitif. Banyak kisah inspiratif disajikan dalam buku setebal 290 halaman tersebut. Kisah-kisah tersebut adalah insight buat para guru untuk memulai menjadi guru yang inspiratif.

2. Menyukai tantangan dengan terus belajar. Hasil penelitian World Bank menyatakan bahwa faktor dominan penentu daya saing bangsa di abad 21 ini adalah : 1) inovasi (45%), 2) teknologi (30%), 3) jaringan kerjasama (15%), dan sumber daya alam (kontribusinya cuma 10%). Fakta tersebut adalah tantangan bagi guru untuk mempersiapkan peserta didik yang mampu eksis dan bermanfaat bagi kehidupan. Keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan pada abad 21 ini adalah : kemampuan komunikasi (communication skills), keterampilan dasar (basic skill) seperti matematika dan bahasa, keterampilan teknologi (technology skills), keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills), literasi (kemampuan keterbacaan ) terhadap keberagaman budaya dan bahasa (multicultural/.multilingual literacy), keterampilan interpersonal (interpersonal skills), keterampilan menemukan (inquiry/reasoning skills), keterbacaan terhadap informasi/teknologi digital (information/digital literacy) , dan kemampuan berpikir kritik dan kreatif (critical and creative thinking skills). Bagaimana mungkin seorang guru tidak belajar atau tidak menyukai tantangan belajar sementara tuntutan kepemilikan keterampilan sungguh banyak dan amat dibutuhkan peserta didik? Maka seperti kaidah fiqh mengatakan Faqudisysyai laa yu'ti bagimana dia akan memberi jika tidak mempunyai?.



3.Mengembangkan ketegasan dan kehangatan dalam kehidupan guru dan siswa. Ciptakan posisi psikologi yang akrab dengan peserta didik. Akrab dengan peserta didik akan membentuk persahabatan,utamanya pada siswa menengah. Namun, akrab bukan tanpa aturan. Aturan tetap diperlukan karena ada privasi guru yang tidakperlu disampaikan kepada siswa. Kombinasi tegas dan hangat ini adalah kombinasi yang pas bila berinteraksi dengan siswa. Tegas berorientasi pada autran. Hangat berfokus pada komunikasi dan hubungan interpersonal. Posisi ini akan menghasilkan tereliminasinya jarak sosial dan psikis peserta didik. Inspirasi yang diberikan guru akan terendapkan pada jiwa dan pemikiran peserta didik. Pada gilirannya peserta didik akan merasakan â€kehadiran†inspirasi yang diberikan guru kepadanya.


4. Mengelola pembelajaran dgn kisah inspiratif. Guru adalah profesi yang sangat memungkinkan penanaman karakter yang diinginkan sekolah dan nilai-nilai agama. Profesi guru sangat tepat untuk membentuk karakter peserta didik dari sejak TK hingga sekolah menengah atas. Oleh karena itu, amat disayangkan bila rutinitas guru mengajar dilakukan tanpa adanya campur tangan inspirasi. Berikanlah kisah-kisah yang inspiratif untuk disampaikan di sela-sela pembelajaran. Jika pembelajaran berlangsung 2 x 45 menit, siapkanlah 1 atau 2 kisah inspiratif untuk disampaikan kepada mereka. Ada baiknya kisah tersebut berkenaan dengan mata pelajaran atau bab/pokok bahasan/materi yang disampaikan sehingga muatan kompetensi yang akan dibentuk menjadi lebih kaya dengan tambahan unsur bercerita. Sebaiknya pula kisah inspiratif yang disajikan guru adalah kisah nyata. Kisah nyata memberikan nuansa yang lebih kuat untuk mengubah cara pandang peserta didik dalam melihat persoalan kehidupan manusia.

Sekali lagi, guru adalah sumber inspirasi bagi peserta didiknya untuk berkembang. Jangan biarkan kecerdasan multi dimensi peserta didik terabaikan. Tidak dikelola dengan baik oleh gurunya.Guru sekadar rutinitas mengajar atau sekadar menjadi guru kurikulum. Yang lebih baik adalah kombinasi: ia menjadi guru kurikulum sekaligus guru yang menginspirasi. (www.nurulfikri.sch.id)
rofipat@example.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar